Makin Ragu akan Agamanya,
Malcolm Masuk Islam
MENGAPA seorang anak muda
berhaluan kiri dari salah satu
negara di dunia yang paling
sekuler dan liberal memilih untuk
menjadi seorang Muslim yang
shaleh?
Malcom adalah seorang guru
musik di Stockholm, Swedia.
Sepanjang hidupnya, ia selalu
mencari kebenaran dari agama.
“Saya tidak pernah meragukan
keyakinan saya,” katanya kepada saat kunjungannya ke Beirut suatu
kali. “Rasanya saya seperti memiliki
iman yang sama sepanjang waktu,
tapi rasanya begitu rapi
dirumuskan dalam Islam.”.
“Saya merasa sangat nyaman
sebagai seorang Muslim …. Kita
makhluk sosial dan kita ingin
merasakan rasa memiliki,” katanya.
“Jika tidak klan, mungkin sebagai
suatu bangsa atau tim sepak bola.
Bagi saya adalah baik untuk
memiliki sesuatu yang dimiliki, tapi
tidak dalam sebuah bangsa
tertentu atau tim sepak bola.”
Tumbuh di tengah lingkungan
mayoritas Protestan, Malcolm
semakin hari semakin ragu
tentang agama yang ia anut
selama itu. Ia mulai mempelajari agama-
agama yang berbeda dan
membaca teks filsafat. Dia merasa
tertarik pada Islam dan terpesona
oleh ajarannya,
terutama ilmu
pengetahuan yang ada dalam Islam. Dia menggunakan internet untuk
belajar tentang Islam dan Qur’an,
menghabiskan waktu berjam-jam
di depan komputer belajar
bagaimana membaca Quran dan
menghafal bagian-bagiannya. Malcolm bukan satu-satunya
anggota keluarganya yang
memeluk Islam.
Kakaknya juga,
menjadi seorang Muslim. Hari dimana ia “resmi” menjadi
seorang Muslim terjadi sekitar tiga
tahun yang lalu.
Dia menghadiri salat Jumat di
masjid besar Stockholm. Ketika itu
Imam meraih mikrofon dan
mengatakan dengan lembut:
“Sekarang, kita memiliki seorang
saudara yang akan mengucapkan
Syahadat.” Ruangan itu menjadi tenang saat
Malcom yang berambut pirang dan
bermata biru, bangkit dari tempat
duduknya dan mulai membaca
Syahadah bersama imam dalam
bahasa Arab.
Berdiri di lantai atas, di bagian perempuan, istrinya
yang sudah Muslim mengawasinya.
“Rasanya luar biasa. Ketika selesai,
semua orang datang pada saya,
memeluk dan memberi ucapan …
satu orang dari Maroko memberi
saya sebuah kaftan sebagai
hadiah,” kata Malcolm.
Sejak itu, Malcolm hidup dalam
aturan Islam. Tidak ada daging
babi di piring makan malamnya.
Tak ada lagi alkohol. Tidak ada judi
di akhir pekan.
Selama bulan suci
Ramadhan, dia puasa. Ia juga
selalu shalat berjamaah di masjid
setiap kali ia bisa.
Kakaknya, katanya, bahkan
mempelajari Islam Islam lebih dalam sebelum masuk Islam. Mengapa memeluk Islam, Malcom?
“Dalam hal ini, Islam benar-benar
melawan kapitalisme.” Sebagai seorang Muslim yang
tinggal di Eropa,
Malcolm selalu
khawatir akan penghinaan
terhadap Islam di wilayah tersebut
seperti larangan burka di Prancis,
atau larangan kubah masjid di Swiss.
الله أكبر
Tidak ada komentar:
Posting Komentar